Aceh dan Pelanggaran HAM yang Tak Kunjung Terselesaikan: Problem Pembatasan HAM dalam Keadaan Darurat

Setelah diberhentikannya Operasi Militer pasca runtuhnya rezim Orde Baru, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan darurat militer melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003. Secara formil, perbedaan antara pelaksanaan DOM dengan darurat militer yang ditetapkan adalah adanya deklarasi terbuka oleh Presiden yang dilakukan secara resmi langsung dibawah pertanggungjawaban Presiden. Namun dalam implementasinya Keppres yang diterbitkan oleh Presiden Megawati tidak cukup menjadi payung hukum akibat rancunya kandungan mandat, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban yang merujuk pada UU No 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya dan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Menurut KontraS catatan ketidakjelasan tersebut meliputi: Pertama, penetapan status darurat militer menjadi kontra produktif dengan tujuan awal akibat konsideran menimbang dalam Keppres mencampuradukkan persoalan yang belum tentu berhubungan dengan separatisme serta tujuan mempertahankan NKRI. Kedua, adanya perbedaaan prinsipil antara rujukan Keppres tersebut, yang terdiri atas UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan Keempat, UU No 23 Prp Tahun 1959 tentang keadaan Bahaya, serta UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Perbedaan-perbedaan ini sulit untuk saling mendukung ketiga instrumen yang menjadi dasar diimplementasikan secara bersama sebagai dasar penerapan status Darurat Militer, karena kandungan konflik kepentingan, tafsir dan tindakan.