Aceh dan Pelanggaran HAM yang Tak Kunjung Terselesaikan: Problem Pembatasan HAM dalam Keadaan Darurat

Pada tanggal 19 Mei 2004, Presiden Megawati memutuskan untuk menurunkan status darurat militer menjadi darurat sipil. Meski demikian, penetapan tersebut tidak menghapuskan seluruh operasi militer di Aceh. Dalam lingkup waktu lebih dari 14 tahun terakhir, banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi di Provinsi Aceh dan tergolong sebagai pelanggaran HAM Berat (extraordinary crimes) dikarenakan menyentuh hak-hak yang bersifat non derogable rights. Terlebih pelanggaran HAM di Aceh tidak lagi hanya dalam lingkup hak-hak sipil saja, namun juga menyebabkan banyak hak-hak ekonomi budaya menjadi tercederai disaat yang bersamaan. Persoalan ini juga diakibatkan oleh substansi konstitusi yang tidak secara spesifik mengatur mengenai keadaan state of emergency yang meliputi sifat-sifat kedaruratan, jenis pembatasan hak serta prosedur hukumnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dalam hukum internasional. Dasar konstitusionalitas atas keadaan darurat hanya diatur dalam Pasal 12 UUD 1945.

Adanya situasi darurat (state of emergency) tidak dapat dijadikan dasar argumen untuk mengabaikan proses eksaminasi atas tanggung jawab lain untuk pemenuhan HAM. Oleh karena itu, negara wajib menyelesaikan kasus pelanggaran HAM untuk mencegah impunitas. Penyelesaian pelanggaran HAM tersebut dilaksanakan bukan hanya untuk pemulihan (reparation) hak-hak korban saja, melainkan juga agar tidak terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Oleh karena itu, usaha penyelesaian pelanggaran HAM harus dilihat sebagai bagian dari langkah memajukan dan melindungi HAM secara keseluruhan. Namun, meskipun terdapat kewajiban pertanggungjawaban negara, nyatanya penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM masih belum mampu untuk ditegakkan.