Aceh dan Pelanggaran HAM yang Tak Kunjung Terselesaikan: Problem Pembatasan HAM dalam Keadaan Darurat

Persoalan penegakan ini menjadi sangat sulit dikarenakan beberapa faktor, yakni: Pertama, kelemahan substansial berkaitan batas waktu pemeriksaan pengadilan yang menyulitkan penegak hukum. Kedua, kegagalan akibat penegak hukum yang tidak kompeten. Ketiga, adanya tekanan dan intimidasi yang dilakukan pendukung terdakwa. Keempat, Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah secara sungguh-sungguh menempatkan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu sebagai agenda pemerintah transisi untuk diselesaikan. Pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo sempat menjanjikan untuk menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan di masa lalu. Namun sejak terpilih pada tahun 2014, hingga terpilihnya kembali di tahun 2019 di periode kedua, persoalan mengenai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih belum dapat dituntaskan sampai saat ini. Meskipun Presiden Joko Widodo menunjukan keseriusan janji politiknya, namun dalam implementasinya masih sangat sulit dikarenakan masih ditemukan banyak kendala yang sama.

Hingga saat ini, bukan hanya Aceh yang masih menunggu kepastian akan hak mereka untuk mendapatkan keadilan. Tragedi-tragedi berdarah lainnya seperti Tragedi Semanggi, Tragedi Tanjung Priok, dll masih menunggu keseriusan negara untuk menyelesaikannya. Untuk menyelesaikan bermacam-macam permasalahan diatas disamping penegakan hukum secara formil, tentu dibutuhkan komitmen politik yang kuat untuk menyelesaikannya, khususnya dalam hal politik hukum penegakan HAM. Persoalan-persoalan tersebut hanya dapat diselesaikan jika diperbaiki secara sistemik melalui penataan struktur hukum dan kelembagaan, substansi hukum serta budaya hukum di masyarakat.