Anak Menjadi Jaminan dalam Hutang-Piutang, Bagaimana Hukumnya?

Jaminan hutang menurut hukum perdata dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan khusus terbagi atas jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Adapun yang termasuk dalam jaminan kebendaan, seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik, dan resi gudang. Selanjutnya, yang dimaksud sebagai jaminan perorangan merupakan bentuk dari penanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menjelaskan bahwa jaminan perorangan adalah kondisi di mana pihak ketiga mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi perikatan orang yang berhutang (debitur) jika debitur tersebut tidak memenuhinya (wanprestasi).

Unsur terpenting dalam penanggungan ini tertera dalam ketentuan Pasal 1824 KUHPer yang menyatakan, “Penanggungan utang harus diadakan dengan pernyataan yang tegas, tidak boleh untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat saat mengadakannya.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian penanggungan bisa diadakan apabila penanggung menyatakan dengan tegas kemauan untuk mengikatkan diri sebagai penanggung orang yang berhutang.

Sementara itu, apabila seseorang menjadikan anak yang belum menginjak usia 18 (delapan belas) tahun sebagai jaminan hutang maka anak tersebut dilindungi haknya oleh UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014). UU ini menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari:

  1. diskriminasi;
  2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
  3. penelantaran;
  4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
  5. ketidakadilan; dan
  6. perlakuan salah lainnya.

Dengan demikian, apabila seseorang menjadikan anak sebagai jaminan hutang-piutang akan dianggap telah melakukan eksploitasi secara ekonomi demi keuntungan pribadinya. Seperti yang tertera dalam ketentuan Pasal 76I UU a quo: