Analisis Singkat mengenai Undang – Undang Cipta Kerja dalam Implementasi Investasi di Indonesia

Mengenai penyederhanaan atau simplifikasi persyaratan dasar perizinan berusaha, pengadaan tanah, dan pemanfaatan lahan yang meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, dan persetujuan bangunan gedung serta sertifikat laik fungsi. Pelaku usaha perlu melaporkan rencana lokasi menggunakan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) berbentuk digital dan kemudian diolah oleh pemerintah dan wajib mengintegrasikan RDTR ke dalam sistem perizinan berusaha secara elektronik, hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat 6 UUCK. Selanjutnya, pengaturan mengenai pengadaan tanah, untuk kepentingan umum dan prioritas pemerintah akan dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk instansi pemerintah dan pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan untuk swasta “Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak,” jelas Pasal 36 ayat 1 UUCK. 

Pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan adalah apakah sistem perhitungan risiko dalam UUCK jika diterapkan di Indonesia akan membantu dalam percepatan perizinan investasi, atau justru akan membuat rumit di dalam pelaksanaan Online Single Submission (OSS) nya kelak? Menurut saya Risk-Based Approach (RBA) memerlukan dukungan basis data yang integratif, menyeluruh, dan akurat, sedangkan database di Indonesia dinilai lemah, mengapa? Karena RBA juga perlu didukung oleh Keterangan Rencana Peruntukan (KRP), dan di dalam mengaplikasikan RBA membutuhkan KRP yang memiliki proyeksi atas risiko di masa mendatang. Jika dibandingkan dengan beberapa negara yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development, yang selanjutnya disebut “OECD” yang telah menerapkan sistem perhitungan risiko (RBA), dapat dilihat dari segi sudut pandang atau perspektif yang jelas sangat berbeda, di negara OECD tidak ada sektor informal. UMKM di negara OECD adalah sektor formal, di negara OECD usaha yang berkaitan langsung dengan masyarakat diatur dengan ketat, contoh: kafe, restoran, dan sebagainya, sedangkan di Indonesia keberadaan sektor informal sangat besar dalam faktor perekonomian, dan juga belum adanya pengaturan perizinan  yang terperinci terkait dengan sektor informalnya.