Aparat Penegak Hukum Pungli, Bagaimana Hukum Bertindak?

oleh : Muhammad Rafi Abdussalam

Internship Advokat Konstitusi

Baru-baru ini viral di sosial media sebuah video rekaman seorang oknum polisi yang diduga melakukan praktik pungli kepada sopir truk. Praktik yang diberi sebutan “Salam Damai” oleh warganet tersebut diduga terjadi di Gerbang Tol Semanggi. Video berdurasi kurang dari satu menit tersebut menuai berbagai respon negatif dari netizen. Lantas, bagaimana keadilan ditegakkan bagi oknum penegak hukum yang melakukan pungli?

Kegiatan pungutan liar (Pungli) sendiri termasuk kedalam kategori tindak pidana pemerasan dan dijerat hukum berdasarkan Pasal 368 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau sebagaiannya termasuk kepunyaan orang itu sendiri kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang atau menghapus piutang, dihukum karena memeras, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.

Namun, berbeda halnya jika praktik pungutan liar tersebut dilakukan oleh pejabat, aparatur sipil negara, atau penegak hukum. Praktik pungli yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil diadili berdasarkan Pasal 423 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. Jika ditarik lebih dalam, praktik pungli yang dilakukan oleh pejabat, aparatur sipil negara, atau penegak hukum juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Sehingga, berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, secara spesifik tindak pidana tersebut akan diadili berdasarkan Undang-Undang Nomor Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 12 huruf e UU Tipikor yang menyatakan bahwa: