Berdasarkan Pasal 195 dan Pasal 196 Criminal Procedure Act (CPA), Jaksa bisa terlibat aktif sejak tahap awal penyidikan, baik menguasai perkara secara keseluruhan dengan cara melakukan investigasi sendiri atau sekedar mengawasi polisi yang menjadi penyidik. Oleh karenanya Kepolisian Korsel dapat disebut sebagai subsidiary organ Kejaksaan, dan Kejaksaan sebagai supervisor of investigation.

Kelebihan dari sistem ini yakni Jaksa bisa mendapatkan keterangan atau pengakuan langsung dari tersangka dan dicatat di berkas mereka sendiri. Sehingga tidak heran apabila Jaksa yang digambarkan dalam Bad Prosecutor lebih banyak terkonsentrasi pada tahapan penyidikan ketimbang memainkan peran ajudikatif di pengadilan.

Apabila dibandingkan dengan di Indonesia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Indonesia juga pemegang kendali atas suatu perkara yang telah melalui proses penyidikan oleh kepolisian sesuai dengan asas dominus litis (Pasal 140 KUHAP). Berdasarkan asas dominus litis, JPU adalah pihak yang berwenang untuk menentukan apakah suatu perkara dapat dilakukan penuntutan atau tidak. 

Meski juga terdapat anggapan bahwa penguasa perkara yang sebenarnya menurut KUHAP adalah Kepolisian, bukan Kejaksaan. Karena tahap pertama penegakan hukum di Indonesia di tingkat penyidikan dilakukan oleh Kepolisian yang kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Berbeda dengan yang berlaku di Korsel dan di kebanyakan negara lainnya, Jaksa di Indonesia tidak mengawasi penyidikan oleh polisi secara langsung (supervisor), Jaksa juga tidak melakukan penyidikan sejak awal bersama kepolisian.