Akan tetapi Jaksa bisa melakukan pemeriksaan hasil penyidikan  melalui Berkas Perkara (BP) yang didalamnya memuat Berita Acara Penyidikan (BAP), sehingga berkas itulah yang nantinya akan menjadi dasar bagi Jaksa untuk memutuskan apakah akan melakukan penuntutan atau tidak. Meskipun tidak jarang dalam praktiknya apabila terdapat berkas yang tidak lengkap akan dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Polisi.

Dari sini dapat dipahami bahwa Jaksa di Indonesia tidak menerapkan asas dominus litis secara mutlak, melainkan hanya bisa menguasai perkara setelah mendapat pelimpahan perkara dari polisi. Sehingga proses pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan oleh penyidik dari polisi tanpa campur tangan dari JPU. 

Mengapa JPU di Indonesia tidak ikut campur sejak dimulainya penyidikan? 

Hal itu dikarenakan penerapan asas diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP, sehingga setiap institusi penegak hukum kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakat dalam sistem peradilan pidana terdapat penegasan pembagian tugas secara instansional. 

Meski demikian, terdapat aturan pengecualian yang membuat Jaksa di Indonesia bisa melakukan penyidikan namun terbatas pada tindak pidana khusus saja, misalnya kewenangan JPU melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 serta kasus pelanggaran HAM berat sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.