Meski demikian, sistem yang berlaku di Korsel tersebut juga memiliki sisi kelemahan karena dianggap menghilangkan filtrasi jaksa untuk menilai hasil penyidikan. Berbeda dengan penyidikan polisi yang diawasi oleh kejaksaan, hasil penyidikan oleh kejaksaan ketika beralih ke pengadilan tidak memiliki mekanisme peninjauan (review). Sekalipun di Kejaksaan Korsel terdapat mekanisme peninjauan secara internal oleh atasan Jaksa melalui konsultasi dan persetujuan, akan tetapi hal itu pun tidak menjamin filtrasi jaksa bisa berjalan efektif.

Berbeda dengan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan di Korsel yang bersifat hierarkis-investigatif, di Indonesia hubungan keduanya lebih menekankan pada hubungan koordinatif-ajudikatif. Menurut model koordinatif, keduanya adalah institusi yang setara dan masing-masing institusi memiliki tugas yang berbeda. Sehingga pengambilan keputusan yang independen dianggap sebagai nilai penting meski terdapat konsekuensi tidak ada ruang bagi kejaksaan untuk mengawasi secara langsung terhadap proses penyidikan.

Apabila dilihat dari segi ajudikatif, Jaksa di Indonesia akan menuntut sesuai dengan alat bukti yang telah diajukan polisi dalam berkas perkara. Apabila jaksa menyimpulkan sudah cukup alat bukti, maka tersangka akan dilakukan penuntutan meski dalam diri Jaksa Penuntut Umum belum memiliki keyakinan bersalah.