BURUH DI MASA TRANSISI POLITIK: DIHEMPASKAN UNTUK DIPUNGUT, DIJANJIKAN UNTUK DILUPAKAN

Utopis lagi-lagi menjadi satu kata yang menampar buruh dalam pahitnya realita. Pemerintah sebagai tangan-tangan negara di masa transisi politik seketika menjadi amnesia. Rezim yang akan berakhir setahun mendatang terus mengakselerasi investasi dengan meminimalisir kepentingan buruh dalam dunia kerja. Ambang batas penentuan upah buruh beserta hak pesengon diotak-atik dengan regulasi yang berbasiskan dalil kegentingan memaksa, tanpa partisipasi dalam pembuatannya. Itulah cerminan omnibus law Cipta Kerja.

Bahtera buruh sudah berlayar tanpa arah di atas luasnya samudra kapitalisasi modal dalam rezim industri. Pasukan evakuasi pun tiba seolah hendak menyelamatkan nasib mereka. Partai politik satu narasi dengan figur yang diusung lantang meneriakkan kegelisahan buruh dalam kampanye, meskipun gelanggang belum dibuka. Coblosan pada surat suara menjadi prasyarat yang harus dibayar oleh buruh jikalau masih ingin menatap gemilau surya di esok pagi.

Janji politik terus menerus mengumandangkan garansi konstitusi Pasal 27 ayat (2) sebagai basis perjuangan panjang menuju pemenuhan hak pekerjaan yang layak. Ilustrasi yang digambarkan ialah kekuasaan politik harus diperoleh dahulu agar penindasan berlandaskan regulasi dapat ditumpas. Secercah harapan yang dahulu pernah sirna, kelak dijanjikan dapat didiskusikan kembali. Suara dari sekmentasi buruh harus dipastikan aman terlebih dahulu, sebelum nantinya bernegosiasi dengan majikan pasca bertahta.