Cancel Culture untuk Pejabat Publik, Mungkinkah?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat publik yang tersandung kasus pidana, seperti: Juliari BatubaraMentri Sosial yang mengorupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19, Azis SyamsuddinWakil Ketua DPR yang divonis 3,5 tahun penjara karena suap, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Sungguh ironi, pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan justru berbuat sebaliknya. Pada tahun 2019, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan judicial review terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang dinilai memberikan peluang mantan narapidana untuk mengulangi perbuatannya karena tidak ada pembatasan jangka waktu tertentu bagi narapidana untuk maju dalam pemilu. Pada Rabu (11/12/2019), Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka 65 waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hakim Konstitusi sependapat dengan apa yang disampaikan oleh pemohon, melalui pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi, Suhartoyo, MK menyampaikan bahwa apabila tidak ada waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri dalam masyarakat tidak sedikit dari para narapidana tersebut mengulang kembali tindak pidana yang sama sehingga sulit untuk menghadirkan sosok pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas.