Penentuan umur dewasa dalam hubungan seksual atau age of consent sendiri belum menemui titik keseragaman dalam hukum Indonesia. Jika sebelumnya dalam KUHP, pencabulan tersebut menyasar pada seorang yang belum 15 tahun, dalam UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Anak, korban tindak pidana dapat dikategorikan sebagai ‘Anak’ jika belum berumur 18 tahun. Kembali pada pembicaraan pidana terhadap child grooming, UU Perlindungan Anak juga hanya mengatur perbuatan cabul terhadap anak. Pada Pasal 76E UU No.17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dan dapat dihukum penjara dari 5-15 tahun dan denda maksimal 5 Miliar Rupiah menurut Pasal 82.

Dari pasal tersebut dapat dilihat beberapa faktor yang termasuk dalam unsur child grooming seperti tipu muslihat, melakukan kebohongan, atau membujuk anak. Namun, unsur-unsur tersebut tidak diatur pemidanaannya tanpa terjadinya atau terbuktinya adanya pencabulan terhadap anak. Dalam hal kasus AG, dimana hubungan seksual dinyatakan telah terjadi, masih ada beban untuk membuktikan bahwa hal tersebut terjadi dengan ancaman atau faktor-faktor dalam pasal UU Perlindungan Anak tersebut. Kesulitan tersebut ditambah lagi dengan stereotype atau anggapan masyarakat yang melihat hubungan seksual yang terjadi lebih dari satu kali menunjukan bahwa anak menginginkan hubungan tersebut atau biasanya disebut “mau sama mau” walaupun age of consent atau dewasa adalah 18 tahun.