Childfree-Over Populasi dalam Dimensi Hak dan Kebijakan Publik 

Oleh: Fayasy Failaq

(Content Creator Advokat Konstitusi)

Dalam budaya timur, membangun keluarga adalah sama dengan membangun generasi. Sehingga dengan demikian sering kali banyak anak dikonotasikan sebagai pertanda kemakmuran serta menggambarkan lingkup keluarga besar yang cakap secara sosial. Dalam beberapa tradisi bahkan memberikan penghargaan marga kepada anak untuk menggambarkan bahwasanya anak tersebut adalah bagian dari keluarga besar pada satu sisi, dan pada sisi lain sebagai generasi penerus yang akan membawa nama besar keluarganya.

Pandangan sebagaimana dalam paragraf pertama tersebut dianut oleh mayoritas pasangan suami-istri yang hendak memiliki keturunan. Terlebih dengan penganut agama semitik di Indonesia yang menjanjikan ada timbal balik yang positif dengan hadirnya seorang anak. Pada sisi lain, dalam heterogen-nya suku dan budaya di Indonesia, terdapat keinginan primordial untuk memperluas ranah kekerabatan dengan suku atau budaya lain, atau memperbanyak jumlah keluarga secara kuantitas.

Dengan paradigma umum yang demikian, anggapan untuk tidak menikah atau menikah dengan keinginan tidak memiliki anak (childfree) dianggap sebagai suatu penyimpangan. Namun demikian, kampanye atau setidaknya statement untuk memilih jalan itu tetap disuarakan oleh beberapa orang di Indonesia dengan rasionalisasi hak privat seorang manusia. Seperti hal-nya seorang influencer Gita Savitri beserta suami yang menyatakan keinginan untuk tidak memiliki anak dengan dalih memiliki anak atau tidak adalah pilihan dan bukan kewajiban.