Citra Negara Menjadi Buruk Karena OTT KPK atau Koruptor?

Oleh: Novi Huriyani

Dalam menangani kasus korupsi tentu dilakukan berbagai operasi, termasuk operasi tangkap tangan (OTT) dan penyadapan yang hasilnya dapat dijadikan sebagai alat bukti tindak pidana korupsi. Aparat penegak hukum di Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan memiliki hak untuk melakukan penyadapan. Tetapi yang berwenang untuk melakukan penyadapan hanya Komisi Pemberantasan Korupsi dan hanya dilakukan untuk kepentingan penyelidikan. OTT dilakukan berdasarkan Pasal 12 UU KPK yang mengatur tentang penyadapan kemudian pasal-pasal di dalam KUHAP yang mengatur soal tertangkap tangan, penangkapan dan penahanan.

Dalam melakukan operasi tangkap tangan, ada dua teknik yang digunakan KPK, yaitu penyadapan dan penjebakan. Meski cara tersebut bertentangan dengan perlindungan data pribadi, Mahkamah Konstitusi menjelaskan, hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak privasi dengan menggunakan UU, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945. Dalam Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, Mahkamah Konstitusi mengamanatkan untuk membentuk aturan mekanisme dan prosedur penyadapan yang harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam UU untuk memberikan izin penyadapan, menurut UU, KPK diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan
  2. Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan
  3. Pembatasan penanganan materi hasil penyadapan
  4. Pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan

Namun, beredar pernyataan kontroversial dari Luhut yang menilai OTT yang dilakukan KPK membuat citra negara menjadi buruk. Dia pun mendorong agar penerapan digitalisasi lebih dimasifkan. Ia percaya, transparansi yang terbentuk mampu membuat KPK tidak perlu lagi melakukan OTT.