Cyber Sexual Harassment dalam Perspektif Positivisme Hukum Indonesia

oleh : Rivaldo Bastanta Singarimbun

Internship Advokat Konstitusi

Akhir-akhir ini kita diperkenalkan dengan istilah baru yang cukup menjadi perhatian pemerintah di Indonesia yakni “Cyber Sexual Harassment”. Berdasarkan data pengaduan langsung yang diterima oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada 2019, kasus cyber sexual harassment bahkan terus meningkat. Selain itu, awal tahun 2020 ini pemerintah Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS) yang pada dasarnya diharapkan dapat memberikan keadilan dan khususnya kesetaraan gender dalam upaya preventif untuk menanggulangi banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Dengan adanya hal tersebut diharapkan setiap masyarakat, khususnya generasi muda, dapat memahami adanya UU TPKS tersebut.

Meski begitu, kemampuan critical understanding mereka masih tergolong rendah. Padahal, critical understanding merupakan akar dari kemampuan literasi media. Remaja kesulitan menganalisis serta mengevaluasi konten pada media sosial. Banyak dari remaja tidak mengetahui bahwa terdapat undang-undang yang mengatur aktivitas mereka di ranah online. Misalnya saja, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan undang-undang yang mengatur aktivitas online dan telah disosialisasikan pada masyarakat sejak 2009. Namun, masih banyak masyarakat yang belum menyadari keberadaan undang-undang tersebut dan kerap melanggar hukum yang berlaku. Padahal dalam asas fiksi hukum, yang mana ketika undang-undang tersebut sudah diundangkan, undang-undang tersebut dianggap diketahui dan berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia dan juga badan hukum yang terkait.