Darurat Kekerasan Seksual : Penanganan Aparat Penegak Hukum Perlu Diperkuat

Tindakan Pelecehan Seksual sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Di dalamnya diatur secara komprehensif mengenai konsep dan definisi mengenai Pelecehan Seksual.  Pada pasal 6 huruf a menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya” dipidana karena pelecehan seksual fisik. Menanggapi kasus ini, Direktur Savy Amira Surabaya, Siti Mazdafiah turut angkat bicara. Bahwa menurutnya, seorang anak di bawah umur yang menjadi korban pelecehan seksual memang cenderung untuk diam atau freezing. Namun meskipun demikian, anak yang sudah merasa dilanggar otoritas tubuhnya akan mengalami dampak psikologis jangka panjang. Menurut hemat penulis, tindakan memeluk dan mencium Pria terhadap anak di bawah umur tersebut termasuk tindakan yang melanggar otoritas tubuh si anak, yang menyebabkan anak tersebut direndahkan martabatnya.  Selain itu, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga sudah menekankan melalui pasal 7 ayat (2) bahwa delik aduan tidak berlaku bagi Anak di bawah umur. Ini berarti, bahwa dalam hal menyangkut anak di bawah umur, maka seharusnya Aparat Penegak Hukum tidak perlu menunggu adanya laporan baru menindaklanjuti suatu perkara. Sehingga alasan Kepolisian memberhentikan tindak lanjut dikarenakan tidak ada aduan dari pihak korban, bukan merupakan hal yang tepat menurut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.