Diskursus Kedudukan KPK Sebagai Lembaga Negara Independen

 Oleh: Ida Bagus Gede Putra Agung Dhikshita 

(Content Creator Advokat Konstitusi)

Pupus lagi harapan para penggiat anti korupsi yang memperjuangkan kedudukan KPK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Harapan berbuah kekecewaan muncul saat Mahkamah Konstitusi memutus 7 permohonan pengujian UU KPK baik secara formil maupun materiil. Kekecewaan disebabkan oleh hasil dari putusan, yang menurut salah satu ahli hukum tata negara dan penggiat anti korupsi, Dr. Zainal Arifin Mochtar dalam suatu seminar merupakan putusan yang menarik selang nafas hidup terakhir KPK yang akhirnya benar-benar mengakhiri hidup KPK. Tulisan ini tidak akan berfokus pada diskursus putusan MK tersebut, melainkan ingin mengajak pembaca untuk memahami diskursus kedudukan KPK sebagai lembaga negara independen yang masih diperdebatkan antara masuk rumpun eksekutif, atau tidak. 

Kajian Teoritis Lembaga Negara Independen

Secara teoritis, perbedaan lembaga negara yang secara tradisional dibedakan menjadi tiga cabang kekuasaan dalam doktrin trias politika yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan lembaga negara yang disematkan status “independen” dapat dilihat dalam perkembangan teori hukum tata negara modern (modern constitutional law theory). Lebih lanjut, dalam bukunya Administrative Law (2002), Asimow menyatakan bahwa organ negara yang disematkan status independen adalah lembaga negara yang berada di luar ketiga cabang kekuasaan dalam doktrin trias politika. Lembaga negara independen tersebut menurut Funk dan Seamon, mempunyai kekuasaan yang disebut quasi legislative, quasi executive, dan quasi judicial. Sejalan dengan pandangan tersebut, Jimly Asshiddiqie juga menyebut bahwa organ negara independen berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif karena disematkan posisi quasi