Diskursus Operasi Tangkap Tangan KPK Menyalahi Asas Praduga Tidak Bersalah

Asas praduga tidak bersalah pada dasarnya mengandung arti bahwa setiap orang yang terlibat dalam suatu perkara hukum pidana tidak dapat dinyatakan bersalah, kecuali dengan adanya putusan dari pengadilan yang objektif dan tidak memihak serta berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut telah tercermin di berbagai instrumen hukum. Misalnya dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) pada Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Hal yang sama juga diuraikan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 5 ayat (1) dan (2):

(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. 

(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.

Melihat beberapa aturan tersebut, secara sekilas sangat tidak bersesuaian dengan adanya penerapan OTT KPK. Hal ini dikarenakan pada penerapan OTT, justru secara tidak langsung KPK menerapkan prinsip praduga bersalah sebagai dasar penangkapan. Apalagi OTT terkadang dilakukan tanpa melihat keadaan, waktu penangkapan dan ada atau tidaknya barang bukti. Menurut Romli Atmasasmita, OTT KPK telah melakukan tiga jenis tindakan yang melanggar UU (interdiction , entrapment , dan dalam proses penyelidikan) (Sindo, 2017).