Draf Perpres Baru Berpotensi Loloskan Pelanggar HAM Berat?

Bagaimana sejatinya penindakan pada pelanggar HAM berat dilakukan?

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menghendaki penyelesaian pelanggaran HAM berat dilakukan pada suatu pengadilan HAM yang dibentuk di lingkungan peradilan umum, sesuai pada Pasal 104 ayat (1). Ketentuan tersebut berarti memberikan kewajiban bagi Negara untuk melaksanakan penindakan pelanggaran HAM berat hanya dengan mekanisme yudisial, bukan dengan cara yang lain. Kecuali jika ditentukan lain, misalnya dibuka kemungkinan untuk menyediakan mekanisme tersebut, maka mekanisme non-yudisial bisa saja dimungkinkan.

Pengaturan serupa juga telah secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengadilan HAM telah mengatur bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat, baik di dalam maupun di luar batas teritorial wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski Pengadilan HAM bersifat ad hoc, namun jika mengacu pada penafsiran limitatif pada Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka hanya lembaga Pengadilan HAM saja yang berhak memutus perkara pelanggaran HAM berat. Sehingga tertutup kemungkinan untuk membuka mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan kasus tersebut. Akibat tidak ditentukan untuk membuka kemungkinan penindakan pelanggaran HAM berat dengan mekanisme non-yudisial, maka Rancangan Perpres tersebut sudah bertentangan dengan Pasal 104 UU HAM. Jika Perpres tersebut terealisasi, maka akan sangat memiliki kemungkinan besar untuk dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review.