Eksistensi Hukum Antariksa Nasional Dalam Perspektif Hukum Internasional

Oleh: Haryana Hadiyanti

Peranan hukum dalam tatanan kegiatan keantariksaan sangatlah penting bagi nasional maupun internasional. Di Indonesia, kegiatan keantariksaan dimulai dengan peluncuran satelit Palapa A1 yang menjadi momentum bersejarah dalam rangka memberikan pelayanan telepon dan faksimile antar kota. Selain itu, fungsi satelit tersebut berkembang untuk mendistribusikan program televisi nasional. Sekarang ini, diketahui bahwa Indonesia mempunyai lima operator nasional, seperti Telkom, Indosat, PSN, MNC, dan BRI.

Kemajuan teknologi di bidang antariksa memberikan peluang untuk mengatur kegiatan yang berkenaan dengan ruang angkasa dan tidak dapat ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena masalah hukum keantariksaan akan semakin krusial seiring dengan harmonisasi hukum nasional dan hukum internasional. Mari kita membahas tentang hukum antariksa dan urgensinya.

Hukum antariksa merupakan seperangkat aturan hukum yang berlaku dalam mengatur kegiatan-kegiatan di bidang antariksa. Dasar hukum yang mengatur segala kegiatannya berasal dari berbagai persetujuan internasional, traktat, konvensi, dan resolusi Majelis Umum PBB. Tujuan hukum antariksa adalah menjamin pendekatan yang rasional dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa guna kepentingan kemanusiaan. Berlakunya perjanjian internasional keantariksaan telah ada sejak terbentuknya United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS). Perjanjian internasional tersebut meliputi,

  1. Treaty on the Principles Governing Activities in the Exploration and Use of Outer Space including the Moon and Other Celestial Bodies 1967 disingkat Space Treaty 1967 (diratifikasi 93 negara, Maret 1997) adalah kerangka dasar bagi ketertiban pendayagunaan antariksa yang merupakan wilayah bersama kemanusiaan (Province heritage of all mankind).
  2. Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space 1968. mengatur tata cara penerapan konsep kemanusiaan dan kewajiban negara-negara dalam mengambil langkah-langkah dan perlakuan dalam membantu dan menyelamatkan astronot yang mengalami kesulitan, serta pengembalian astronot yang telah diselamatkan ke negaranya.
  3. Convention on International Liability for Damage Caused by Space Object 1972, disingkat Liability Convention 1972. Inti perjanjian ini adalah mengatur tata cara perilaku yang rinci apabila pihak lain menderita kerugian akibat kegiatan suatu negara di antariksa.
  4. Convention on Registration of object Launched into Outer Space, 1975 disingkat Registration Convention 1975. Inti perjanjian ini mengatur tata cara pemberian informasi tentang benda-benda yang diluncurkan ke antariksa kepada Sekretaris jenderal PBB dan pendistribusian lebih lanjut informasi tersebut secara luas kepada negara-negara.
  5. Agreement Governing the Activities of States on moon and Other Celestial Bodies 1979, disingkat Moon Agreement 1979, yang mulai berlaku efektif pada 11 Juli 1984. Inti perjanjian ini adalah mengatur tata cara pengolahan Bulan dan benda-benda langit lainnya yang merupakan common heritage of mankind untuk kepentingan perdamaian.

Di Indonesia, pengaturan hukum antariksa termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Keantariksaan dan disahkannya Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan Tahun 2016-2040. Pembangunan hukum antariksa nasional merupakan suatu tantangan yang mengedepankan strategi kebijakan keantariksaan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang massif. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana Pemerintah mampu mengatasi permasalahan hukum publik dan privat dalam hukum antariksa nasional guna mengharmonisasi hukum nasional dan hukum internasional. Kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan keantariksaan harus mengadopsi prinsip-prinsip perjanjian internasional dalam pembentukan kaidah-kaidah hukum antariksa nasional agar sejalan dengan hukum nasional dan hukum internasional