EKSISTENSI RUPIAH DIGITAL, PENGATURAN HUKUMNYA?

Pada 30 November lalu, Bank Indonesia mengumumkan untuk menerbitkan Central Bank Digital Currency bernama Rupiah Digital. Rupiah digital digunakan untuk pemenuhan ekonomi negara, termasuk dijadikan sebagai alat pembayaran digital di Indonesia. Deputi Gubernur BI, Doni Primanto Joewono, mengungkapkan bahwa penerbitan rupiah digital ini berpotensi meningkatkan pertumbuhan pasar modal dan membuka peluang bisnis baru. Selain itu, penerbitan rupiah digital juga bertujuan untuk mengatasi risiko stabilitas aset kripto yang berpotensi menimbulkan sumber risiko baru. Tentunya, rupiah digital berbeda dengan e-wallet yang seringkali digunakan masyarakat karena rupiah digital memiliki jenis ritel dan saldo e-wallet dapat ditukarkan menjadi rupiah digital.

Akan tetapi, peluncuran rupiah digital justru menambah tantangan baru dalam aspek ekonomi maupun hukum. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 (UU Mata Uang), rupiah hanya terdiri atas rupiah kertas dan rupiah logam. Dalam hal ini, belum ada definisi mengenai rupiah digital, sehingga dibutuhkan landasan hukum yang mengatur rupiah digital. Selain itu, rupiah digital memiliki risiko hukum terhadap hukum perdata, sebab keabsahan dalam kepemilikan rupiah digital hanya terdeteksi dalam sistem. Di sisi lain, rupiah digital masih awam di kalangan masyarakat.