Fast Track Legislation: Persoalan Praktik Legislasi di Indonesia

Persoalan Praktik

Salah satu persoalan memburuknya praktik legislasi di Indonesia saat ini dikarenakan proses legislasi yang seharusnya membutuhkan jangka waktu yang panjang justru dilakukan secara yang cepat (terburu-buru) seperti yang terjadi dalam Revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK maupun UU Cipta Kerja yang menuai banyak kritik dari masyarakat karena proses pembentukannya dilakukan secara cepat (terburu-buru).

Persoalan praktik semacam ini terkadang terjadi di ranah legislatif karena didasari oleh kehendak politik (Politic Interest) legislator yang akhirnya menyebabkan minimnya aksesibilitas dan partisipasi publik akibat ketidakberimbangan akomodasi kepentingan. Hal ini menggambarkan bahayanya otoritatif kekuasaan dalam proses legislasi serta membuka peluang lahirnya tirani legislasi. Ini menjadi sebuah tantangan yang sangat serius terkait bagaimana proses legislasi di Indonesia kedepan yang harus mengutamakan hak masyarakat melalui pelaksanaan partisipasi publik yang murni dan bukan atas kehendak otoritas kekuasaan ataupun dorongan kepentingan kelompok tertentu. 

Berdasarkan ketentuan Pasal 96 UUP3, menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dapat disampaikan melalui beberapa cara, yaitu rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, atau diskusi. Ketentuan tersebut telah menjelaskan bagaimana konsep partispasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan bersifat responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Meskipun dalam tataran praktiknya terkadang belum sejalan dengan ketentuan normatif yang berlaku, karena pembentukan peraturan perundang-undangan lebih condong kepada kepentingan politik legislator. (Yuliandri: 2014)