Fenomena Gig Economy dalam Hukum Ketenagakerjaan

Payung hukum berbeda yang mendasari kedua hubungan akan menimbulkan konsekuensi berbeda pula terhadap mitra dan pekerja. Hubungan kerja harus memenuhi ketentuan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan sementara hubungan kemitraan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Ketenagakerjaan melindungi pekerja untuk memperoleh haknya dalam memperoleh Upah Minimum Regional, hari libur, jam kerja delapan jam sehari, serta upah lembur. Tidak hanya itu, para pemberi kerja dalam Pasal 35 juga wajib memberikan perlindungan mencakup keselamatan dan kesehatan mental maupun fisik para pekerja. Hak dan kewajiban para kurir bergantung pada perjanjian kerjasama yang dibuat di antara keduanya. Itulah sebabnya kasus-kasus yang dihadapi para kurir kerap terjadi berulang kali oleh karena lemahnya hukum yang melindungi hak-haknya.

Hubungan kemitraan telah membuat perusahaan tidak terikat kewajiban untuk melindungi mitranya. Walaupun terlihat bahwa seorang kurir bekerja untuk perusahaan namun nyatanya tidak ada hubungan subordinasi di antara keduanya. Menurut salah satu dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, seorang mitra rentan akan kesewenang-wenangan untuk tidak diperlakukan layaknya pekerja/buruh. Sebab produk hukum yang mengatur tentang hubungan kemitraan masih sangat terbatas. Dalam menyambut era industri baru sudah saatnya pemerintah menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang ada terhadap fenomena-fenomena baru yang terjadi dalam masyarakat layaknya gig economy yang menciptakan hubungan kemitraan. Jika perlu produk hukum baru perlu dibentuk agar secara khusus dapat melindungi hak dan kewajiban baik bagi mitra dan juga pemberi kerja. Tentunya hal ini perlu diikuti dengan pengawasan oleh pemerintah agar tidak terjadi lagi baik pelanggaran maupun penyalahgunaan hubungan kemitraan.