Fenomena Hakim Tunggal: Rumusan yang Bingung

Selain itu, rumusan hakim tunggal yang tidak secara jelas dan tegas diatur dengan undang-undang tentu mempersulit penerapan hakim tunggal yang dapat menjamin keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Satu-satunya undang-undang yang membuka peluang adanya hakim tunggal adalah rumusan pada undang-undang kekuasaan kehakiman. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) pada Pasal 11 ayat (1) menguraikan bahwa “Pengadilan memeriksa, memutus perkara dengan susunan majelis, sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain”. Secara ekspresive verbis rumusan pasal ini hanya dapat dikecualikan dengan produk yang sederajat, yakni undang-undang. Oleh sebab itu limitasi penggunaan hakim tunggal hanya dimungkinkan apabila diatur dengan undang-undang. Misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 44, 47, dan 50 yang menguraikan bahwa penyelesaian perkara anak baik di tingkat pertama, banding, dan kasasi dilakukan oleh hakim tunggal. Begitupun pada proses praperadilan yang didasarkan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 78 ayat (2). Namun, jika kita melihat rumusan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) ditegaskan pada Pasal 40, bahwa Mahkamah Agung dalam memutus perkara itu sekurang-kurangnya 3 orang hakim, dan tidak membuka opsi lain. Ini semakin memperkeruh pengaturan mengenai hakim tunggal, karena tumpang tindihnya pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan, karena norma yang ada di undang-undang tentang Mahkamah Agung jelas tidak bersesuaian dengan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Kebijakan dispensasi oleh MA yang mulai berlaku pada tahun 2019 dalam penyelesaian perkara pidana umum. Misalnya yang diberikan kepada Pengadilan Negeri Kabupaten Penajam Peser Utara, Kalimantan Timur. Tentunya secara jelas untuk kesekian kalinya, menyalahi aturan yang ada. Baik UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA, dan KUHAP.