Fenomena Hijack: Bukti Gagalnya Pengkaderan Partai Politik

Oleh: Joshua Lee

Dalam dunia karir profesional, fenomena hijack atau pembajakan adalah suatu hal biasa. Hijack atau pembajakan yang dimaksud adalah ketika sebuah perusahaan melakukan rekrutmen untuk mencari calon karyawan yang tengah bekerja di perusahaan lain, utamanya dari lini bisnis yang sama atau posisi yang sama. Tentunya dengan iming-iming benefit yang menggiurkan.
Nampaknya itulah yang kali ini banyak terjadi. Alih-alih mendukung dan menjagokan kadernya sendiri, banyak sekali partai politik yang berusaha menggaet pihak luar yang bukan merupakan hasil pengkaderan alami partai tersebut untuk dijadikan calon. Hal ini semakin nyata menjelang Pemilu 2024. Memang hingga saat tulisan ini ditulis, yang sudah pasti mendukung orang eksternal Partai hanyalah Partai Nasdem yang lebih memilih menjagokan Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Partai Solidaritas Indonesia yang mendukung Ganjar Pranowo. Tapi diluar itupun, telah banyak isu partai-partai lain mendukung pihak eksternal partai, seperti Sandiaga Uno ataupun Ridwan Kamil.

Menelaah Fenomena Hijack
Gagalnya Pola Rekrutmen
Dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa rekrutmen partai politik dilakukan secara demokratis dan terbuka, sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, Almas Sjafrina dalam tulisannya yang berjudul “Dampak Politik Uang Terhadap Mahalnya BIaya Pemenangan Pemilu dan Korupsi Politik” sampai menuliskan realita sistem kaderisasi yang sangat elitis. Ketika berbicara frasa “pengkaderan elitis” tentunya akan banyak tafsir yang bermunculan, mulai dari rekrutmen yang menimbang masalah materi ataupun pendahuluan orang-orang tertentu yang memiliki akses politik. Tentunya ketika kita hubungkan dengan kondisi main hijack seperti saat ini, rasanya sulit untuk kita putuskan benang antara keduanya.
Presidential Treshold
Selain itu, angka presidential treshold yang tinggi seperti yang sudah ditentukan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) juga menjadi persoalan. Penulis memahami bahwa partai politik tentu tidak mau kehilangan momen, sehingga mengambil kesempatan untuk mendukung tokoh yang sekiranya mampu untuk menggaet dukungan partai lain demi terpenuhinya presidential threshold yang berada di angka 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR ataupun 25% dari jumlah suara sah secara nasional dalam Pemilu sebelumnya, sekaligus mampu menggaet konstituen.
Minimnya Pendidikan dan Pemahaman Politik
Salah satu dilema demokrasi elektoral Indonesia ialah preferensi konstituen yang hanya didasarkan atas popularitas dan kurang mengedepankan rasio dan pemahaman. Ini sering menjadi masalah. Jika kita berpikir sebagai bagian dari Partai Politik, bukankah lebih enak bagi kita untuk menghadirkan calon populer meskipun yang bersangkutan berasal dari luar partai? Dibanding kader sendiri tapi tidak populer, meskipun berkualitas? Fenomena seperti inilah yang menurut Mustabsyirotul Mustofa dalam tulisannya yang berjudul “Tinjauan Kritis Populisme di Indonesia: Antara Gagasan atasi Cara Baru Sirkulasi Elit” sering disebut dengan istilah “jalan lintas populis”.