Fenomena Pemviralan Kasus di Media Sosial sebagai Alat Bukti 

Oleh: Azalia Deselta

(Content Creator Advokat Konstitusi)

Memasuki budaya serba canggih membuat pengguna internet harus bijak dalam mengelola apa yang akan mereka publish ke media sosial. Saat ini, media sosial menjadi konsumsi sehari-hari oleh manusia modern dan telah menjadi kebiasaan. Tidak hanya itu, kekuatannya pun sangat mendominasi di semua kalangan. Maka dari itu, tidak dapat dihindari jika kurang bijak dalam bermedia sosial akan membuat pengguna media sosial termakan oleh berita bohong atau hoaks.

Namun, tidak dapat dipungkiri juga jika dampak positif media sosial akan pro terhadap korban. Bisa dirasakan dalam beberapa kasus yang pernah terjadi. Salah satunya kasus yang terjadi pada perawat rumah sakit swasta di Palembang yang mengalami kekerasan fisik dari orang tua pasien, hal tersebut sempat mengkhawatirkan bagaimana peran negara dalam melindungi profesinya sebagai perawat. Rupanya bukti rekaman tersebut dapat menjadi alat bukti walaupun dalam praktiknya belum memiliki dasar hukum yang kuat. 

Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah terdiri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Martiman Prodjohamidjojo juga menjelaskan jika dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal demikian juga disepakati oleh Yahya Harahap, bahwa alat bukti dalam KUHAP dinilai limitatif sehingga alat bukti di luar itu tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat, sehingga dapat menimbulkan permasalahan pada nasib alat bukti elektronik.