Fenomena Pemviralan Kasus di Media Sosial sebagai Alat Bukti 

Berkembangnya zaman memunculkan solusi baru mengenai kekhawatiran masalah tersebut, yakni dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, yang selanjutnya disebut UU ITE. Disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU ITE bahwa, Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Keabsahan video menjadi alat bukti dalam pembuktian tampaknya masih ambigu. Hanafi dan Muhammad Syahrial Fitri (2020) menyebut jika alat bukti elektronik yang baru diakui sebagai suatu alat bukti yang sah dalam hukum pembuktian di Indonesia. Namun, tidak serta merta dapat langsung dijadikan sebagai alat bukti, melainkan harus memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE, bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Kemudian Pasal 6 pun ikut melengkapi, “…. bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”