Indonesia yang Jauh dari Jangkauan Demokrasi Deliberatif

Sayangnya, konsep tersebut sepertinya masih elusif di Indonesia. Tentunya pertimbangan saat ini adalah bagaimana menyatukan masyarakat Indonesia pada satu forum secara bersama-sama untuk membahas banyak hal mengenai pengambilan kebijakan di berbagai sektor. Walaupun begitu, para pendukung konsep ini mengakui bahwa tidak semua masyarakat harus dilibatkan dalam satu forum secara bersamaan dan tidak semua harus dibahas secara deliberatif. DPR misalnya, setiap mereka menggunakan forum sosialisasi Prolegnas ke masyarakat dengan menggunakan sesi kunjungan kerja, berdasarkan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional, forum itu tidak hanya sebagai sarana untuk memperlihatkan apa saja yang menjadi rencana legislasi selama setahun ke depan dan menjaring aspirasi seadanya hanya untuk mematuhi ketentuan Pasal 18 huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU 12/2011). Namun, juga harus menjadi sarana untuk menjaring kritikan dan saran substansial yang langsung memengaruhi penyusunan suatu undang-undang. 

Akses partisipasi pada demokrasi deliberatif dianggap penting apabila suatu kebijakan yang dibentuk mengikutsertakan kelompok masyarakat yang akan terdampak dari kebijakan itu sendiri. Deliberasi tersebut harus inklusif jika tidak dan hanya terbatas di antara anggota dewan saja, maka itu masih dalam tahap deliberasi elitis. Inklusi ini dilakukan dengan memberikan masyarakat yang turut serta dalam pembahasan derajat yang sama dengan perwakilannya atau para anggota dewan tersebut. Inklusi tersebut berarti juga ada interaksi dua arah antara warga dengan pejabat, tak terbatas hanya pada forum-forum yang bersifat sosialisasi biasa atau seminar yang terbatas.