Jalan Panjang Presidensialisme Multipartai di Indonesia 

Pada Pemilu 2004 dimana SBY-JK terpilih secara mayoritas lebih dari 60% pada putaran kedua, namun basis dukungan politik nya di parlemen rendah. Koalisi Kerakyatan yang dibangun pun hanya didukung oleh partai yang memiliki pemilu legislatif 2004 sekitar 38%. Dalam kondisi ini terjadi apa yang disebut Jose Antonio Cheibub sebagai minority government Karena dukungan minoritas parlemen terhadap pemerintah. Untuk itu SBY- JK merangkul beberapa Parpol untuk bergabung dengan koalisinya seperti PKS, PPP, PAN, PKB, dan Golkar. Selanjutnya paradigm presidensialisme multipartai seperti yang diidekan Jose Antonio Cheibub terjadi, yakni Presiden SBY membagi jabatan menteri kepada sejumlah partai politik yang menjadi bagian dari koalisi SBY-JK. Namun hal ini tidaklah menjamin setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan parlemen.

Hal unik terjadi di tahun 2014 manakala koalisi sudah terbentuk sebelum hasil pemilihan umum terjadi. Menghadapi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 partai politik peserta Pemilu anggota legislatif 2014 terbelah atas dua kelompok koalisi yakni koalisi Indonesia Hebat (KIH) di kubu Jokowi- JK sebagai Capres dan Cawapres yang tergabung dalam lima parpol (PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI dengan kursi di DPR 36,46%) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di kubu Prabowo-Hatta sebagai Capres dan Cawapres yang tergabung dalam tujuh parpol (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, dan PPP dengan kursi di DPR 63,54%). Hasil Pemilu 2014 dimenangkan Jokowi-JK yang kemudian merubah konstelasi politik koalisi partai politik yang ada.