Jawa adalah Kunci!

Selain itu, nilai-nilai budaya Jawa harus turut pula dipertimbangkan sebagai faktor keterpilihan Jawa dalam pemilihan Presiden. Menurut Elisabet Murtisari (2013) dalam sebuah jurnal berjudul “Some Traditional Javanese Values in NSM From God to Social” bahwa masyarakat Jawa memiliki beberapa filosofi kehidupan untuk menitikberatkan pada tatanan hidup yang damai serta harmonis. Nilai-nilai tersebut ialah narima (menerima hidupnya), eling lan waspada (berhati-hati dan waspada), sadhar (sadar), alus (sopan/beradab), tanggap terhadap perasaan orang (tepa selira), ngalah (mau mengalah)  dan ethok-ethok (pura-pura; dalam konteks untuk menjaga perasaan orang dan meminimalisir konflik). Jika kita pikirkan, nilai-nilai luhur tersebutlah yang mendominasi sebagian besar pemikiran masyarakat Indonesia untuk menilai apakah kepribadian seseorang dapat dikatakan baik atau buruk. Ketika seseorang mampu untuk mempresentasikan kepribadian yang baik itulah masyarakat akan lebih memandangnya sebagai pemimpin yang ideal.

Faktor demografi serta nilai-nilai luhur dalam budaya Jawa tersebutlah yang “mungkin” menjadi alasan bagi tiap calon Presiden benar-benar menonjolkan sosok Jawa dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan. Dapat kita tarik contoh dalam Pemilu 2014, Presiden Joko Widodo –yang pada saat itu masih berstatus sebagai calon Presiden- beberapa kali terlihat gencar menepis isu bahwa dirinya merupakan anak dari seorang warga Singapura. Prabowo Subianto sebagai calon presiden pesaing turut pula “terlihat” menggambarkan sosok Jawa lewat aksinya berkuda sambil membawa keris dalam kampanye akbar Partai Gerindra di Gelora Bung Karno. Saya jadi mengingat ucapan seorang tokoh dalam film yang sering diperbincangkan setiap bulan September: “Jawa adalah kunci!”