Julidan Netizen Bisa Kurangkan Hukuman Pidana ? 

Di satu sisi, pertimbangan hakim tersebut mendapatkan kritikan tajam mulai dari para ahli hukum, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun masyarakat. Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) misalnya berpendapat bahwa pertimbangan hakim tersebut cacat logika. Menurutnya, cacian terhadap Juliari Batubara merupakan konsekuensi logis yang harus diterima karena kelakuannya.

Hal serupa juga disampaikan oleh peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, yang berpendapat bahwa pertimbangan hakim tersebut terlalu mengada-ada. Kurnia menjelaskan, “Ekspresi semacam itu hal wajar, terlebih mengingat dampak yang terjadi akibat praktik korupsi Juliari.Bayangkan, praktik suap menyuap itu dilakukan secara sadar oleh Juliari di tengah kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat ambruk karena pandemi Covid-19” (Newssetup, 2021). Penolakan terhadap pertimbangan hakim tersebut pada intinya berdasar bahwa atas perbuatan yang dilakukannya, Juliari Batubara pantas menerima segala cacian dan makian dari masyarakat, sekalipun secara hukum, belum terbukti bersalah.

Namun di sisi yang lain, pertimbangan hakim tersebut adalah dalam rangka untuk menjaga dan menegakkan salah satu asas paling mendasar dalam hukum acara pidana yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Asas ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2019 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan.atau diperhadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.