“Keadilan” Semu Dalam Krisis Pemikiran Positivisme

Thomas Aquinas seringkali mempertahankan pemikiran zaman pertengahan dan menolak Aristoteles. Aquinas berpendapat bahwa aturan hukum voluntas principis legis hebit vigorem harus dipahami sebagai sesuatu yang tunduk kepada nalar yang lebih tinggi, bahwa bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka kehendak sang raja tidak akan menjadi hukum, melainkan ketidakadilan. Selanjutnya, pertentangan mengenai positivisme hukum ditunjukkan oleh Aquinas. Aquinas sendiri bersikeras bahwa hukum positif kehilangan karakter atau esensi keabsahan jika melanggar hukum alam dan mengutuk hukum yang tidak adil.

Namun, ia mengakui bahwa hukum yang tidak bermoral masih sah menurut hukum dalam arti yang berkurang. Hobbes, tentu saja, memiliki penjelasan tentang kemungkinan konflik antara hukum positif dan hukum alam. Menurutnya, hukum positif yang memberikan ancaman terhadap kehidupan, maka saat itu pula hukum positif kehilangan semua otoritas moral terhadap manusia, dikarenakan manusia berdaulat atas dirinya sendiri.

Hukum positif dalam arti hukum yang dipaksakan oleh otoritas politik seringkali berfungsi untuk memusatkan perhatian dan memicu aparat pemerintah yang sangat memaksa. Dari hal tersebut, positivisme hukum menampakkan bahayanya. Perintah paksa merupakan bentuk dari esensial hukum, terlepas dari apa yang terkandung didalamnya. Mana kala perintah itu digabungkan dengan sanksi yang memadai, dalam istilah Marsilius, maka kita memiliki hukum,baik bersifat afirmatif, prohibitif maupun permisif.