“Keadilan” Semu Dalam Krisis Pemikiran Positivisme

Krisis Pemikiran dan Keterpurukan Tradisi Positivisme

Beberapa filsuf sebenarnya masih memperlihatkan optimismenya terhadap hukum dalam pandangannya. Seperti Rousseau, yang mewujudkan kerangka imperatif kategoris dari putusan bebas pada wujud otonomi manusia sebagai sebuah indikasi dari kehendak umum (voluntee generale). Menurut Rousseau, kehendak umum perlu dipahami sebagai otoritas final dalam semua keputusan mengenai hukum dan dengan demikian diberi pengertian yang sangat demokratis dan tak terbatas, sedangkan dalam pengertian Immanuel Kant kehendak umum harus tunduk pada hukum umum alamiah dalam pengertian konstitusionalis.Rousseau menganggap kehendak umum sebagai kumpulan individu yang membentuk masyarakat. Karena kumpulan kehendak khusus ini tidak ditujukkan kepada kebaikan Bersama tetapi kepada kebaikan individual. Namun demikian, kontradiksi muncul dari fakta bahwa Rousseau tidak benar-benar memecahkan kehendak rasional dari suatu kepribadian otonom.

Hukum positivis yang demikian sering memberikan bentuk yang disebut sebagai kekerasan. Kekerasan memberikan kesan “positif” dari norma dan keyakinan agama lain. Kekerasan menanamkan penalaran hukum di posisi yang paling tepat dari doktrin atau aturan kognitif. Oleh sebab itu, kegagalan positivisme hukum terjadi justru saat munculnya keberhasilan dari positivisme hukum itu sendiri sebagai tradisi yang dipraktikkan di seluruh tataran bumi ini, yang justru melahirkan kekerasan biadab pada abad tersebut. Praktik tradisi positivisme hukum yang demikian, sama sekali mengenyampingkan adanya suatu keadilan.