Kebebasan Berpendapat Di Era Digital Prespektif HAM

Oleh: Shinta Dwi Cahyani

(Internship Advokat Konstitusi)

Pada Tahun 2019 terjadi kasus yang menjerat salah satu musisi tanah air yaitu Ahmad Dhani, yang mengunggah tulisan di Twitter pribadinya memposting pernyataan yang di anggap menimbulkan kebencian dan perpecahan di masyarakat. Ahmad Dhani terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana Dengan Nomor Putusan 58/PID.SUS/2019/PT.DKI. Ahmad Dhani dijatuhkan hukuman pidana penjara selama 1,5 tahun menjadi 1 tahun penjara dan menetapkan barang bukti yang disita untuk dimusnahkan. Ahmad Dhani dijerat dengan pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”

Dari kasus tersebut, sebenarnya di Indonesia semua warga negara memiliki hak kebebasan berpendapat di muka umum karena kebebasan berpendapat merupakan bentuk kemerdekaan tanpa takut karena sudah dijamin dalam Undang-Undang salah satunya adalah Pasal 27 Ayat 1 UUD NRI 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” Namun, kebebasan berekspresi dan berpendapat terancam dengan adanya UU No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).