Secara definisi, kebiri merupakan tindakan untuk membuat tidak berjalannya fungsi reproduksi baik itu bagi manusia maupun hewan baik itu dengan cara mengamputasi organ seks eksternal maupun memasukan zat kimia yang mampu memperlemah hormone testosteron. Dalam perkembangannya, bila merujuk pada pendapat Jean D. Wilson dan Claus Roehrborn, tindakan kebiri dalam perkembangannya juga digunakan sebagai hukuman yang kemungkinan dapat melakukan kejahatan.
Pengenaan kebiri sebagai sanksi dianggap tidak memerhatikan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia yang berlaku. Hal ini dikarenakan sanksi kebiri merupakan sanksi pidana yang dapat dikonstruksikan sebagai hukuman yang keji, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia. Hal ini tentu bertentangan dengan pasal 7 ICCPR yang berbunyi “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”.
Dalam hal ini, pernyataan kebiri sebagai hukuman yang keji, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia dapat didasari dari dampak-dampak negatif yang timbul dari pengenaan kebiri, misalnya pada kebiri kimia dapat menimbulkan dampak negatif berupa penuaan dini pada tubuh. Cairan anti androgen diketahui akan mengurangi kepadatan tulang sehingga risiko tulang keropos atau osteoporosis meningkat. Selain itu, anti androgen juga mengurangi massa otot, yang memperbesar kesempatan tubuh menumpuk lemak dan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Bahkan John Stinneford mengatakan bahwa subjek dari kebiri kimiawi akan mengalami proses yang disebutnya “melumpuhkan organ” dan dapat disebut sebagai suatu penyiksaan.