Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) 

Perbuatan yang tergolong perilaku kekerasan adalah pelecehan seksual di jalan (sexual street harassment) atau bisa disebut Catcalling menjadi masalah sosial, menurut riset yang diadakan oleh Hollaback.org ada 71% wanita di dunia pernah mengalami street harassment sejak usia puber (11- 17 tahun) hingga sampai pada masa dewasa, dan lebih dari 50% diantaranya termasuk pelecehan fisik dan sisanya adalah pelecehan secara verbal dan visual. Selain itu, menurut survey yang diadakan CNN Indonesia (2016) dari 25.213 responden baik dari kota maupun kabupaten, sebanyak 58% pernah mengalami pelecehan dalam bentuk verbal. Perbuatan ini juga sering terjadi di berbagai daerah, tetapi faktanya korban dari pelecehan Catcalling takut untuk melapor karena kurangnya respon dari masyarakat bahkan penegak hukum serta belum adanya kepastian hukum. Biasanya yang menjadi korban dalam perbuatan ini adalah perempuan, namun bisa juga terjadi pada laki-laki. 

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi maka permasalah terkait catcalling ini akan semakin marak terjadi. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana kebijakan hukum dalam penanggulangan perbuatan pelecehan seksual catcalling ini yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana. jika dilihat dari perspektif hukum pidana, bahwa pelecehan seksual verbal (catcalling) ada penggabungan terhadap aturan yang mengatur perbuatan tersebut. seperti yang diatur dalam Pasal 281 Ayat (2), Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, Pasal 35 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang digunakan sebagai penyelesain perbuatan catcalling (pelecehan seksual verbal) terhadap perempuan di Indonesia.