Kebiri Kimia dalam Hukum Konstitusi dan HAM

Maka berdasarkan atas amanat yang diberikan UU No. 39 Tahun 1999 yang disebutkan di atas, tentunya tidak sejalan dengan ketentuan yang mengatur hukuman dalam UU No. 17 Tahun 2016 karena bagaimanapun, praktik kebiri kimia mengakibatkan pelaku mengalami rasa sakit dan penderitaan yang hebat. Adanya hukuman ini membuat sifat pelaku menjadi agresif dan tidak bisa menjamin akan terulang lagi tindak kejahatannya karena memori seksualnya masih terdapat dalam diri pelaku, walaupun hormon testosteronnya menurun. Menurut penelitian Nikolaus Helm (1981) atas 36 pelaku kejahatan seksual yang dikebiri secara sukarela di Jerman Barat, dia mengatakan bahwa frekuensi senggama, masturbasi, dan pikiran seksual sangat berkurang setelah pengebirian. Namun, 31 persen pelaku masih merasakan dorongan seks dan mampu melakukan hubungan seksual. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan sisi itu sebelum menerapkan hukuman, dan juga fokus untuk penanganan pemulihan para korban kekerasan. 

Hukuman kebiri ini merupakan hukuman yang tidak sesuai dengan konstitusi dan komitmen indonesia dalam bidang hak asasi manusia yang terdapat dalam ketentuan pasal 28G ayat (2) konstitusi indonesia menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”. Kemudian, hal ini juga berhubungan dengan Pasal 28I Ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyebutkan “perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”. Dengan demikian hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang dilindungi konstitusi dan pemajuan, perlindungan serta pemenuhan menjadi komitmen konstitusi.