Kekerasan Berbasis Gender Online: Apakah Benar-Benar Tidak Ada Keadilan Bagi Korban?

3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

  • Pasal 4 UU Ponografi berisi larangan untuk:

Memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak.

Menyediakan jasa pornografi yang: menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; menyajikan secara eksplisit alat kelamin; mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual

Dalam penjelasan pasal 4 disebutkan bahwa pembuatan konten pornografi untuk konsumsi pribadi tidak dipidana. Ini bisa dijadikan payung untuk melindungi korban penyebaran konten intim non-konsensual yang sudah banyak terjadi. Dimana korban membuat konten untuk kepentingan pribadi namun disebarkan oleh orang lain tanpa persetujuannya.

  • Pasal 9 yang memuat larangan menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.”
  • Pasal 11 memuat larangan untuk melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek pornografi.
  • Pasal 12 yang melarangan setiap orang untuk mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekerasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
  • Pasal 8 UU pornografi mengatur mengenai larangan seseorang memberi persetujuan untuk menjadi objek pornografi, tetapi dalam penjelasannya diatur bahwa persetujuan yang diberikan karena paksaan dan tekanan tidak dipidana. Ketentuan ini sebenarnya juga dapat digunakan untuk melindungan korban-korban kekerasan berbasis gender misalnya eksploitasi seksual yang sebenarnya dipaksa untuk melakukan sebuah tindak pornografi, atau berada dalam tekanan.

Meskipun tidak mengatur secara spesifik mengenai kekerasan berbasis gender yang terjadi secara online, undang-undang diatas masih bisa digunakan, jika aparat penegak hukum mulai dari penyidik sampai hakim dapat menggunakan penafsiran hukum yang berperspektif korban. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memaksimalkan fungsi payung hukum-payung hukum yang telah ada untuk melindungi korban dan tidak melulu menjadi corong undang-undang yang kaku dan saklek, walaupun dalam prakteknya sampai sekarang masih banyak penerapan pasal yang tidak berperspektif korban, seperti tidak digunakannya ketentuan dalam penjelasan dengan alasan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, akhirnya akan semakin banyak korban yang dikorbankan kembali oleh hukum.