Acuan bagi sektor UMK untuk memberikan upah bagi pekerja dapat dilihat pada Pasal 36 ayat (2) PP Pengupahan, yang menentukan bahwa upah pada UMK ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja di perusahaan dengan ketentuan:
a. Paling sedikit sebesar 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi;
b. Nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Data-data mengenai rata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan tersebut diperoleh dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Namun, pemerintah juga memberi batasan agar “celah” pengupahan bagi pekerja di sektor UMK tidak dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yaitu melalui Pasal 38 PP Pengupahan, dimana pemerintah memberikan batasan bahwa sektor UMK wajib mempertimbangkan untuk mengandalkan sumber daya tradisional dan/atau tidak bergerak pada usaha berteknologi tinggi dan tidak padat modal dalam kegiatan usahanya.
Dengan begitu, jelas bahwa sektor UMK yang pada umumnya masih menggunakan alat-alat tradisional dalam menjalankan kegiatan usahanya serta tidak memiliki laba sebesar usaha di sektor lain diberi kelonggaran oleh pemerintah untuk dikecualikan dari ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota. Hal ini semata-mata agar ketika UMK memberi upah di bawah ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan (sebelum berlakunya UU Cipta Kerja), maka pelaku usaha dapat dijerat pidana penjara dan denda sebab membayar upah di bawah ketentuan upah minimum. Dampak jangka pendeknya adalah dapat mengganggu kegiatan berusaha dari sektor UMK itu sendiri sedangkan jangka panjangnya adalah terganggunya perekonomian nasional.