#KODEKERAS JOKOWI: REFORMASI APARAT

Politik dan Komunikasi Simbolis
Baju coklat dan celana bahan, penutup kepala, serta tongkat seolah-olah memang menjadi style anggota Polri. Tidak dapat kita pungkiri bahwa ketika orang dengan penampilan tersebut lewat di hadapan kita, kita akan mengira bahwa ia merupakan bagian dari aparat tersebut. Seragam tersebut seolah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sang aparat.
Dalam sebuah jurnal berjudul The Social Power of a Uniform, Leonard Bickman, seperti yang dikutip dari PinterPolitik TV, pernah menjelaskan bahwa seragam menjadi sebuah cara untuk menunjukan identifikasi status pemakainya, keanggotaan dari sebuah kelompok, serta legitimasi. Hal itu dapat bermuara pada faktor hirarki, impresi koersi, punishment, dan reward terhadap pemakai dari atribut tersebut. Bukan tidak mungkin bahwa ketika Presiden melarang penggunaan berbagai atribut tersebut saat datang ke istana, Presiden ingin menghilangkan “legitimasi” atas pembenaran arogansi aparat serta memberikan punishment atas arogansi yang “rasa-rasanya” meninggi dalam beberapa peristiwa terakhir.
Jika kembali boleh mengutip dari apa yang dipaparkan oleh Klasio melalui sebuah buku berjudul “Komunikasi Simbolik-Penggunaan Simbol dalam Komunikasi” yang dirujuk oleh Ichwan Arifin dalam sebuah artikel daring berjudul “Politik Simbol, Politik Banal?”, Klasio menunjukan bahwa terdapat dua komponen penting dalam mempelajari komunikasi simbolik, yaitu: (1) Tanda, yang bersifat fisik dan dapat dipersepsi oleh indera; serta (2) Makna, yaitu hasil dari penandaan. Sebuah tanda/simbol baru dapat menggerakan manusia jika terdapat makna yang dipahami. Jikalau boleh membangun asumsi dengan menghubungkan peristiwa kemarin, mungkin Presiden ingin menunjukan bahwa mereka bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa tanpa atribut-atribut itu. Mereka hanyalah manusia biasa, sehingga wajib mengedepankan rasa kemanusiaan serta akal budi dalam menangani “manusia-manusia” lainnya.