KPK DAN POLEMIK SP3 KASUS BLBI

Selain itu, hal tersebut juga diharapkan dapat mencegah negosiasi terselubung antara oknum KPK dengan pihak-pihak yang terkait dalam hal ini tersangka kasus korupsi. Bahkan apabila melihat naskah akademik RUU KPK, pun menguatkan beberapa argumentasi bahwa kewenangan SP3 tidak semestinya diberikan kepada KPK. Salah satunya, agar KPK lebih berhati-hati dalam melakukan setiap tahapan penindakan tipikor dan demi menjaga independensi lembaga tersebut dari intervensi pihak luar (Naskah Akademik RUU KPK).

Ketidakwenangan KPK dalam menghentikan penyidikan ini juga diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-I/2003 dan Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006. Dimana pada putusan a quo pada pokoknya tidak menerima permohonan judicial review terhadap materi Pasal 40 UU KPK, yang diajukan oleh Hengky Baramuli, mantan anggota DPR RI. Menurut Hamdan Zoelva, salah satu Hakim Konstitusi, ketentuan Pasal 40 UU KPK untuk mencegah KPK melakukan penyalahgunaan wewenangnya yang sangat besar.

Berkaitan dengan kewenangan SP3 yang dimiliki oleh KPK pasca berlakunya UU No. 19 Tahun 2019, sedari awal begitu banyak pakar hukum yang berpendapat bahwa kewenangan tersebut berpotensi melemahkan ikhtiar pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyatakan bahwa pemberian kewenangan menghentikan penyidikan bagi KPK cukup bermasalah karena tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 dapat dijadikan bancakan korupsi. Terbukti, pada kasus BLBI yang ditaksir telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun dihentikan begitu saja. Padahal apabila melihat taksiran kerugian keuangan negara yang dihasilkan, maka sudah sepatutnya KPK harus bekerja keras terhadap pengungkapan kasus a quo.