Legalitas Pembuatan Konten Pornografi untuk Kepentingan dan Konsumsi Pribadi ditinjau dari UU Nomor 44 Tahun 2008

Oleh: Clarrisa Ayang Jelita

(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)

Undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi sudah mengalami uji materiil di Mahkamah Konstitusi sebanyak 4 kali. Uji materiil terakhir adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XVIII/2020 dimana Pemohon menyatakan dirinya merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) karena terdapat relasi kuasa dari suami pemohon hingga tubuh pemohon ‘dijual’ pada teman-teman suami. Namun, pemohon dianggap sebagai pelaku dan dipidana dengan Pasal 8 UU Pornografi. Dimana kuasa relasi tersebut membuat pemohon bersedia menjadi objek atau model video pornografi untuk kepentingan pribadi. Setelah bercerai, tanpa sepengetahuan Pemohon, mantan suaminya menyebarkan video tersebut. Pasal 8 UU Pornografi mengatur bahwa Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. 

Permasalahan terletak pada pertentangan antara pasal 8 dan pasal 4 UU Pornografi dimana pasal 4 mengatur bahwa Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Namun dalam penjelasan pasal 4 frasa “membuat” tidak dimaksudkan pada pembuatan pornografi untuk konsumsi atau kepentingan pribadi. Pasal 8 UU Pornografi dianggap bertentangan dengan bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) dan 28 G ayat (1) UUD 1945 oleh pemohon. Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kepastian hukum, sehingga terjadinya pertentangan antar pasal dalam UU Pornografi menyebabkan tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat mengenai boleh atau tidaknya pembuatan konten pornografi untuk kepentingan pribadi.