Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan Konstitusi secara Non Formal

Oleh : Torik Abdul Aziz 

Konstitusi sebagai norma dasar dari sebuah negara diharuskan untuk selalu bertahan dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya konstitusi tidak lepas dari kemungkinan perubahan. Perubahan konstitusi dapat dibedakan menjadi perubahan formal dan perubahan non formal. Menurut K.C. Where ada 4 cara terjadinya perubahan konstitusi yakni beberapa kekuatan penting (some primary forces) amandemen formal, penafsiran oleh lembaga yudisial, dan kebiasaan adat istoadat ketatanegaraan.

Mahkamah Konstitusi berdasarkan pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945 memiliki empat kewenangan yakni Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (constitutional Review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran Partai Politik, memutus Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Dari keempat kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut, kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadikan mahkamah konstitusi dimungkinkan melakukan perubahan non formal terhadap Undang-Undang Dasar.

Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU terhadap UUD pada dasarnya sedang melakukan penafsiran terhadap keduanya. Pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah konstitusi (MK) dapat diibaratkan sebagai dua mata pedang. Di satu sisi mahkamah harus memahami makna dari undang-undang yang dijadikan objek pengujian, dan di sisi lain mahakamah juga harus memahami makna dari pasal Undang-Undang Dasar yang dijadikan batu uji. Maka berangkat dari hal itu lah penafsiran konstitusi tidak dapat dipisahkan dari Pengujian UU terhadap UUD.