Marital Rape dalam Bingkai Hukum Indonesia

oleh : Sepania Immanuella Magdalena Perpetua

(Internship Advokat Konstitusi)

Tidak dapat dipungkiri bahwa marital rape atau perkosaan dalam pernikahan masih merupakan suatu hal yang tabu di Indonesia dan pengertiannya pun masih dianggap sebagai suatu oksimoron, yaitu sesuatu yang saling bertentangan pengertiannya. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya anggapan bahwa saat perkawinan telah disahkan maka artinya kedua calon mempelai saling menyetujui adanya conjugal rights, yakni hak pasangan suami isteri untuk berhubungan seksual. Hak tersebut menjadi pelindung bagi pihak-pihak dalam perkawinan agar hubungan seksual yang dilakukannya tidak dikategorikan sebagai perzinahan ataupun perkosaan. Selain itu, bukan Adanya conjugal rights dan munculnya fenomena marital rape tersebut menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai apakah kata “tidak” yang diucapkan saat menolak untuk berhubungan seksual dalam hubungan suami istri setelah kata “ya” yang diucapkan saat janji perkawinan adalah suatu hal yang layak dan dapat dilakukan.

Ius Constitutum: Dasar Hukum Penanganan Marital Rape di Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjamin tegaknya keadilan bagi para anggota keluarga dengan mengatur kekerasan dalam rumah tangga untuk dapat diproses melalui jalur hukum pidana. Dalam Pasal 5 UU PKDRT tersurat beberapa jenis kekerasan dalam rumah tangga yang antara lain adalah: kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga. Selanjutnya, dalam Pasal 8 huruf a dan b UU PKDRT, dijelaskan bahwa terdapat dua jenis kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam Pasal 5 UU tersebut, yang secara berturut-turut sebagai berikut: pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga tersebut dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dari kedua pasal tersebut, istilah “perkosaan” maupun “pemerkosaan” memang tidak tertulis secara eksplisit, namun tindakan tersebut tentu dapat dikategorikan pula sebagai kekerasan seksual.