Masa Depan Presidensialisme Indonesia Pasca Putusan MK 68/PUU-XX/2022

Selain itu juga berlaku bagi Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial; Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan pejabat setingkat Menteri; Kepala Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa penuh; serta Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang”.

Persoalan konstitusionalitas yang diajukan dalam permohonan ini adalah apakah pejabat negara in casu menteri harus mengundurkan diri jika diajukan sebagai pasangan capres/cawapres? Artikel ini akan membedah pengaruh putusan ini terhadap bangunan sistem pemerintahan presidensial Indonesia.

Putusan MK

Dalam Putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon. hal ini berarti bahwa Menteri tidak perlu mengundurkan diri jika diajukan sebagai calon Presiden/wakil Presiden sepanjang mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari Presiden. MK berpandangan hal tersebut merupakan hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih. Selain itu untuk mengisi jabatan politik tersebut diperlukan calon yang berkualitas dari berbagai unsur dan potensi sumber daya manusia Indonesia. MK berpandangan, untuk mendapatkan jabatan sebelumnya, pejabat tersebut memerlukan perjalanan karir yang panjang. Karena itu, tanpa harus mundur, kematangan profesionalitas pejabat yang dimaksud masih dapat dipergunakan dalam memberi kontribusi pembangunan bangsa dan negara. selain itu, pemberlakuan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 menurut MK membatasi dan membedakan hal tersebut termasuk bentuk diskriminasi terhadap partai politik ketika mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden/wakil presiden. MK menegaskan hal tersebut mencederai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskrimnatif sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.