Masa Depan Presidensialisme Indonesia Pasca Putusan MK 68/PUU-XX/2022

Menteri dalam regulasi 

UU kementerian negara disusun untuk membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Karenanya diatur larangan Menteri menjabat sebagai pejabat negara lainnnya. Bahkan diharapkan seorang Menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan lain seperti jabatan dalam partai politik. Hal ini dimaksudkan untuk adanya peningkatan profesionalisme, pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus pada tugas, pokok dan fungsi yang lebih bertanggung jawab. Hal ini selaras seperti yang diungkapkan Manuel L Quezon, Presiden kedua Filipina yang mengungkapkan “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.“

Jika kita melacak dimana sesungguhnya awal pengaturan menteri harus mengundurkan diri jika dicalonkan sebagai capres/cawapres dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi “Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya”. Selain itu, penjelasan ayat ini Kembali menegaskan bahwa “Yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam ketentuan ini adalah Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi”. Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan.