Masyarakat Adat Dalam Kerangka Hukum Nasional

Husen mengungkapkan bahwa hukum mempunyai dinamika yang dapat diketahui melalui penelusuran dan kebijakan yang terjadi pada masa lampau, guna membenahi masa kini dan memprediksikan yang akan terjadi kedepan (Husein, 2011: 80). Dari ungkapan tersebut, sejatinya perjuangan terhadap pengakuan masyarakat adat yang memiliki corak tersendiri dalam hukumnya yakni hukum adat sebagai sebuah hukum yang tidak tertulis telah berlangsung sejak zaman penjajahan di Hindia Belanda. Melalui perjuangan yang dilakukan Cornelis Van Vollenhoven yang sangat lantang menentang kebijakan yang menyamaratakan pemberlakuan hukum bagi masyarakat Hindia Belanda dengan masyarakat golongan Eropa melalui Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (burgerlijk van wetboek). Hingga pada akhirnya, Van Vollenhoven mengusulkan bahwa terhadap masyarakat asli Hindia Belanda diberlakukan hukum adat sebagai living law yang telah ada sebelum Belanda tiba bahkan sejak dulu kala. Maka tidak heran jika pada akhirnya Van Vollenhoven dijuluki sebagai Bapak Hukum Adat.

Setelah Indonesia merdeka perjuangan untuk mengakui eksistensi masyarakat adat telah terakomodir melalui konstitusi. Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi dasar bahwa masyarakat adat memiliki hak konstitusional untuk diakui dan dihormati hak- hak tradisionalnya. Lebih dari itu, pengaturan terhadap masyarakat adat juga diturunkan pada berbagai undang- undang sektoral layaknya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang), hingga Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah).