Namun, dalam pengimplementasiannya, perlindungan terhadap hak- hak masyarakat adat tidak dapat diberikan begitu saja oleh negara. Hal ini dapat dilihat dari bangunan pasal 18B ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Untuk dapat diakuinya suatu masyarakat adat, maka terdapat syarat- syarat kumulatif yang harus dipenuhi berdasarkan amanat pasal 18 ayat (2) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia yakni sepanjang masyarakat adat masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, serta diatur dalam undang- undang.
Jika menengok pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan, pengukuhan terhadap keberadaan suatu masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Jelas hal ini akan berdampak terhadap ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat sebab jika tidak terdapat peraturan daerah yang mengukuhkan keberadaannya maka dengan sendirinya masyarakat adat tidak akan mendapatkan hak- hak tradisionalnya. Meskipun secara de facto masyarakat adat eksis namun secara de jure tidak diakui sebab tidak adanya peraturan daerah yang mengatur suatu masyarakat adat tertentu. Padahal proses perumusan suatu aturan melalui peraturan daerah membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Pentingnya pengakuan konstitusionalitas masyarakat adat menurut Prof. Melantik tidak lain untuk menjamin perlindungan hak masyarakat adat terhadap hak atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yang diperoleh secara turun temurun atau warisan dari leluhur, dan memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat adat dari tindakan diskriminasi dan kekerasan, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam melaksanakan haknya (2019:37).