Masyarakat Adat Dalam Kerangka Hukum Nasional

Masih hangat di benak kita di penghujung tahun 2020 lalu, lima orang masyarakat adat Laman Kinipan di provinsi Kalimantan Tengah mengalami kriminalisasi karena melakukan pembelaan diri untuk mempertahankan hutan adat mereka yang ditebang dan dikonversi menjadi perkebunan sawit. Di provinsi NTT pada tahun yang sama pula, masyarakat adat Pubabu- Besipae mengalami penggusuran hingga penganiayaan oleh aparat pemerintah yang hendak menanam lamtoro dan kelor di atas tanah masyarakat adat Pubabu- Besipae. Padahal Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi untuk mengembalikan tanah yang dipinjam oleh Dinas Peternakan setempat namun belum direalisasikan. Kriminalisasi yang sering dialami masyarakat adat akibat tuduhan bahwa mereka merampas lahan, memasuki hutan tanpa izin, memotong batang pohon di wilayah yang seharusnya menjadi tanah adat namun telah dibebani izin oleh pemerintah kepada korporasi. Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2020 sedikitnya telah terjadi dua ratus empat puluh satu konflik agraria akibat praktik perampasan tanah, yang juga melibatkan masyarakat adat.

Sejatinya, aturan yuridis untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat hukum adat telah disusun melalui RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat yang berkali- kali masuk daftar prolegnas namun, tidak kunjung diundangkan. Menurut Prof. Maria selaku pakar hukum agraria, pengakuan terhadap hak ulayat dan masyarakat adat merupakan hal yang wajar sebab masyarakat adat sejatinya telah eksis sebelum Indonesia terbentuk. Bahkan Laksanto Utomo selaku Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat mengungkapkan bahwa konflik yang menimpa masyarakat adat dikarenakan ketiadaan undang- undang yang melindungi masyarakat adat. Dengan ditundanya pengesahan dan pengundangan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat selama hampir dua dekade, maka selama itu pulalah amanat konstitusi untuk melindungi masyarakat hukum adat tidak terwujud.