Melacak Makna Sifat Putusan “Final” Oleh Mahkamah Konstitusi

Lebih lanjut, ketentuan a quo kembali ditegaskan di dalam Pasal 10 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yaitu putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Dalam praktiknya, sifat putusan “final” yang dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi beberapa kali dipersoalkan. Misalnya saja, Komisi III DPR RI pernah menyuarakan isu agar peluang Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dibuka pada saat pembahasan Revisi UU tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial pada tahun 2008. Tidak hanya itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun juga pernah mengusulkan agar adanya PK atas Putusan Mahkamah Konstitusi (Suroso, 2018).

Berdasarkan atas persoalan tersebut, yang menjadi pertanyaan mengapa Mahkamah Konstitusi memiliki sifat putusan yang “final”? Apa makna dibalik sifat putusan a quo?

Gagasan mengenai sifat final Putusan Mahkamah Konstitusi tidak terlepas dari kesepakatan untuk membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir. Dalam hal ini, tidak adanya upaya hukum dimaksudkan agar Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum secara cepat sesuai prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Menurut Fajar Laksono (2018) dalam bukunya yang berjudul Potret Relasi Mahkamah Konstitusi-Legislator: Konfrontatif atau Kooperatif? mengemukakan bahwa terdapat tiga alasan yang menopang adanya sifat putusan yang demikian, yaitu: